berbicara tentang rock islam
untuk mengenali para band yang dekat dengan rohani rohani islam sangat lah di perlukan karna band ada lah pengaruh yang sangat kuat di kalangan masyarakat
apa lagi tentang lagu lagu yang di bawa harus bertema islam dan religi
banyak juga band band yang membawa lagu lagu qasidah, dan di resmen ulang dengan pariasi musik musik tersendiri
dengn lagu yang mengalir dakwah islam, kita bisa berdakwah dan mengajak para teman teman yang mempunyai band band yang bisa berdakwah melalui lagu islam atau lagu lagu qosidah yang kita resmen menjadi rock pop dangdut DLL.
Di Jepang, Dhani Ahmad jadi salah satu ikon populer anak muda pengikut tarikat Naqsabandiyah. Ini kesaksian seorang peserta Asian Public Intelectuals (API) Fellowship, Krisnadi Yuliawan, yang selama 6 bulan pada 2006-2007 melakukan penelitian di Jepang. Begitu pulang ke tanah air, Krisnadi sedikit geli juga menonton liputan sekian banyak infotainment di televisi kita tentang “tragedi” Dhani-Maia. Dalam beberapa kali perjumpaan, Dhani menyebut-nyebut “habib” (entah siapa) ada di pihaknya.
Dhani “Dewa” Ahmad tak pernah sepi dari kontroversi. Termasuk saat ia mulai secara gamblang mengekspresikan lirik, judul album, dan simbol-simbol Islam yang agak khas dalam album solo mau pun album Dewa sekeluarnya Ari Lasso. Pada album ketujuh Dewa, Laskar Cinta (2005), Dhani memilih logo album kaligrafi Allah yang, menurut Dhani, telah dimodifikasi sehingga bukan lagi terbaca Allah. Bentuknya mirip bintang Daud –sehingga sebagian orang (terutama tokoh Betawi, Ridwan Saidi) mengaitkan Dhani dengan “konspirasi Yahudi”.
Pada 10 April 2005, Dhani Dewa dituduh menghina Islam karena dalam sebuah pertunjukan di Trans TV, lambang itu dibentang di lantai panggung yang, tentu saja, diinjak-injak Dhani dan kawan-kawan. Ustaz Wahfiuddin mendatangi Trans TV, bertemu muka dengan Dhani, menunjukkan sebuah gambar dalam Atlas Budaya Islam karya Ismail Faruqi yang menegaskan bahwa simbol itu adalah tulisan “Allah” yang tak boleh diinjak-injak.
Ironis. Di satu sisi, Dhani digugat karena simbol itu mirip simbol suci Yahudi sang “musuh Islam”; di saat sama, ia digugat justru karena simbol itu kaligrafi “Allah”. Namun segala kehebohan ini bagian dari sebuah dinamika Islam masa kini: ketegangan antara ekspresi Islam dalam budaya pop dan batas-batas Islam yang telah mapan dalam masyarakat kita.
Tegang, tapi untung?
Tak selamanya ketegangan itu berbentuk pertentangan terbuka dan keras. Ketegangan kreatif bisa mengambil bentuk diam-diam, tanpa keributan. Diam-diam, jika kita perhatikan, ada ketegangan kreatif antara pandangan dua mantan rocker kita, Harry Mukti dan Opick. Mereka tak berseteru secara langsung, tapi masing-masing menapaki jalan yang bertentangan.
Harry Mukti saat ini tak mau lagi menyanyi. Musik itu haram, pernah ia melontar ke media. Sejak jadi lead vocal band Makara dan meluncurkan lagu Laron-laron pada 1985-1986, Harry dikagumi karena teknik teriakannya yang mampu menggapai oktaf tinggi dan bisa sedikit serak tanpa jadi pecah suaranya. Kini ia puas jadi ustaz saja. Dalam sebuah berita dari Antara, 2 April 2007, ia mengaku bahwa sejak meninggalkan keartisannya, ia jatuh miskin. Ia hanya bersyukur punya istri dan mertua kaya, yang mendukung kegiatannya berdakwah (lisan) kini.
Lain lagi Opick. 15 tahun ia menyanyi rock dan menelurkan enam album. Ia gagal, tak dikenal dan tak punya lagu laris barang satu pun. Pada album ketujuh, ia menemukan suara sejatinya: musik religius. Album itu, Istighfar, terjual 300.000 keping dalam sebulan. Sampai album ketiga musik religiusnya pada 2006 ini, Opick, yang bernama asli Aunur Rofiq Lil Firdaus, boleh dibilang antara telah berhenti dan belum sebagai penyanyi rock. Ia jelas tak lagi menyanyi lagu-lagu rock “nonreligius”.
Namun kita ingat, karakter vokal Opick serta caranya menyanyi yang cenderung mendayu dan cocok benar untuk melantunkan syair-syair mengajak berzikir dalam alun musik rock balada lembut berbasis musik orkestrasi. Musik Opick yang sebetulnya sangat modern itu berhasil membentuk identitasnya sendiri sebagai “musik religius”. Ia mengembangkan lantunan gaya Tombo Ati warisan Sunan Kalijaga yang bersifat nembang ke dalam rangka musik modern.
Musik Opick, yang menerjemah gaya nembang ke dalam komposisi musik modern, adalah satu dari sekian jalan musik religius modern di Indonesia. Gaya nembang yang lebih kental gaya musik etniknya (sebuah variasi dari aliran “world music”), kebetulan musik etnik Jawa, digali oleh kelompok musik Kyai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Najib. Juga oleh kelompok Nyai Kanjeng pimpinan Trie Utami. Ada juga jalur nasyid –sebuah gaya senandung, musik vokal, dari Arab.
Kelompok Snada yang telah kiprah 13 tahun membawa suatu plesetan terhadap pakem nasyid asli, yakni gaya akapela (bahkan, kadang R & B juga) ala Boyz II Men dari Amerika. Kadang, ada juga humor dalam karya mereka. Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an awal, nasyid diajarkan dalam program informal tarbiyah di sekolah-sekolah dan kampus-kampus dengan semangat meniru nasyid penyemangat perjuangan yang konon disenandungkan dengan gempita oleh para pejuang HAMAS di Palestina. Kelompok Snada jadi penanda penting pembelokan semangat perjuangan itu menjadi semangat seni penghiburan (entertainment).
Ada juga kelompok Debu, yang lebih menggali musik gambus, dan paling dekat pengertiannya dengan gaya qasidah. Dari segi syair, kelompok musik beranggota lebih dari 20 orang aneka latar bangsa ini condong pada sisi sufistik Islam. Syair-syair Debu digubah Syekh Fattah, yang berasal dari Amerika dan boyong ke Sulawesi Selatan bersama pengikutnya. Syakh Fattah juga yang merancang syiar Islam spiritual lewat musik ini, membebaskannya untuk menjelajah kemungkinan musikal world music dan pop juga.
Jelajah world music dan musik pop itu pula yang menyemangati musik shalawat dari Hadad Alwi, ketika ia merekam Cinta Rasul versi orkestra yang melibatkan Victoria Philharmonic Orchestra di Australia. Musik gambus, qasidah, bahkan lantunan shalawat pun diterima masyarakat luas. Paduan dengan unsur-unsur musik modern yang beragam, agaknya jadi ciri mutakhir musik Islam.
Rock Islam
Salah satu paduan menarik adalah musik rock dan qasidah. Pada 2004, grup rock GIGI mengeluarkan album rohani Islam, Raihlah Kemenangan. Mereka merilis sebuah daur lagu yang tak disangka banyak orang: Perdamaian, yang pernah dipopulerkan grup qasidah perempuan Nasyida Ria sejak 1970-an. Sampai album rohani ketiga mereka, Pintu Sorga, GIGI tetap mempertahankan pendekatan rock yang diaransemen oleh Dewa Bujana, dengan menyenggol aliran pop, hard rock yang agak “bocor” ke metal, juga punk, dan new wave.
Walau mengejutkan untuk dunia musik Indonesia saat ini, pengamat musik Denny Sakrie mencatat bahwa Koes Plus lah yang pertama kali memadukan musik pop/rock dengan qasidah pada 1974 (Republika, 1 Oktober 2007). Dalam album berlabel qaidah modern keluaran Remaco itu, Koes Plus melontarkan lagu-lagu Nabi Terakhir, Ya Allah, dan Zaman wis Akhir. Seperti kata Denny pada MADINA, mulanya memang pertimbangan bisnis.
Apalagi ketika pada saat hampir bersamaan, Koes Plus meluncurkan juga album natal. Hal ini memang menyebabkan kontroversi. Namun, dalam catatan Denny Sakrie, langkah Koes Plus mengeluarkan produk alternatif musik religius itu diikuti banyak band pop/rock lain. Grup musik cadas yang tak disangka-sangka mengeluarkan juga album “qasidah modern” pada 1975 adalah AKA, yang didukung oleh Arthur Kaunang dan Ucok Harahap. Menurut Denny Sakrie, pendekatan musik rock yang gempita dan dinamis inilah yang diteruskan oleh GIGI.
Tak hanya GIGI, banyak musisi rock negeri ini yang menggali kemungkinan musik religius ini. Gito Rollies, /rif, Debby Nasutian dari Gank Pegangsaan, dan salah satu yang paling sukses, Ungu, mencetak hit demi hit di masyarakat kita. Pemaduan berbagai unsur musik modern dengan unsur musik religius tradisional yang sebetulnya merupakan cermin keragaman dakwah lewat musik sekaligus keragaman musikalitas negeri ini.
Mungkin karena kita punya warisan dakwah lewat seni ala Wali Sanga. Tembang Tombo Ati adalah contoh penting pendekatan seni dalam dakwah di Indonesia. Tembang ini diciptakan Sunan Bonang lima abad lalu, berdasar sebuah hadits terkenal tentang cara-cara seorang Muslim mencapai ketenangan hati, dalam lirik bahasa Jawa. Tembang ini dinyanyikan oleh Kyai Kanjeng, Snada, dan melesatkan karir Opick. Masing-masing dengan pendekatan musikal berbeda-beda, menandakan kelenturan tembang ini sekaligus suasana keragaman musik religius kita.
Memang setidaknya ada dua Sunan yang mewariskan dakwah lewat seni. Sunan Kalijaga memanfaatkan seni ukir, wayang, gamelan, dan seni suara suluk untuk berdakwah. Ia mencipta dua tembang yang juga masih kita kenal saat ini, Lir Ilir dan Gundul Gundul Pacul. Sunan Bonang juga menghasilkan banyak suluk atau tembang tamsil, paling terkenal adalah Suluk Wijil. Namun, sedikit beda dengan para peluncur album-album religius saat ini, kedua sunan itu menjadi ulama atau pendakwah lebih dulu sebelum menjadi seniman.
Teladan kedua sunan seniman itu secara langsung atau tak langsung mengilhami beberapa seniman musik kita, dari Bimbo hingga Chrisye, juga Slank yang sempat berduet dengan Hadad Alwi. Musisi muda macam grup Ungu mungkin tak dengan sadar akan pengaruh dakwah para sunan itu. Eksplorasi musik dalam album religius mereka yang laris manis itu sangat terbatas, tak seperti GIGI atau Kyai Kanjeng. Seolah, musik mereka yang sudah ajeg pakemnya tinggal dicangkokkan saja dengan syair religius atau bukan-religius, sesuai kebutuhan.
Tidakkah terbit sedikit keheranan, ketika pada Ramadhan lalu grup dengan vokalis Pasha yang diberitakan pernah jadi juara azan se-Makassar waktu kecil, dua lagu Ungu dengan syair praktis berlawanan bisa nongkrong bareng di tangga lagu populer MTV? Yang satu, bersyair tentang pencarian Tuhan; yang lain, bersyair tentang perselingkuhan. Astaghfirullah!
***
QASIDAH MENYIASATI ZAMAN
Islam punya kelenturan mengadopsi budaya lokal. Ada beberapa pepatah Arab pra-Islam yang kemudian dikenal sebagai hadis Nabi Muhammad SAW, seperti “Kebersihan adalah bagian dari iman” atau “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina”. Para ahli sepakat bahwa hadits-hadits itu lemah runutan periwayatannya (sanad-nya), tapi para ulama menganggap pepatah-pepatah itu Islami.
Qasidah adalah sebuah tradisi berpuisi dari tanah Arab zaman pra-Islam. Jika kemudian tradisi puisi ini berkembang menjadi seni musik, tak aneh. Sebelum kelahiran puisi-puisi modern di Eropa masa Pencerahan, puisi di berbagai penjuru dunia lebih banyak identik syair yang dilantunkan sebagai lagu. Qasidah termasuk yang tak lekang dimakan zaman. Dari Arab, ia berkembang ke berbagai penjuru dunia, sesuai penyebaran Islam. Di Persia, ia memiliki variasi yang khas. Begitu juga, kemudian, di Indonesia.
Di Arab, qasidah menjadi sarana memuja nostalgia. Menurut Ibnu Qutaydah, pada abad ke-9 dalam Kitab Syair dan Penyair mendefinisikan tiga babak yang membentuk qasidah klasik. Pertama, diawali dengan keluhan penyair akan segala yang telah lewat, biasa dikenal sebagai nasib. Keluhan ini biasa berjalin dengan sikap legawa, mengikhlaskan yang telah lalu, atau takhallus. Pada babak kedua, biasa disebut rahil (bagian perjalanan), saat sang penyair merenungi kekerasan alam dan jauhnya ia dari sukunya.
Babak ketiga, berisi pesan dari penyair. Biasanya, babak ini mengambil salah satu dari tiga bentuk: fakhr, atau puja-puji pada sukunya; hija, atau satire tentang suku-suku lain; atau serangkaian kata mutiara moral, atau hikam.
Di Persia, qasidah dikembangkan menjadi sarana penyampaian ide-ide filsafat atau fungsi-fungsi non-nostalgis lain. Naser Koshro, seorang penyair dan filosof Persia, menggunakan bentuk qasidah secara meluas untuk menyampaikan berbagai tujuan filosofis, teologis, dan etis. Ibn Sina pun dikabarkan menggunakan bentuk qasidah ini untuk mengutarakan pandangan-pandangan filosofisnya.
Di Indonesia, kita tahu, Islam datang lebih banyak melalui para pedagang Arab dan Persia. Tradisi qasidah yang berkembang kemudian di negeri ini pun mengalami mutasi lagi. Secara umum, qasidah tradisional di Indonesia identik dengan musik gambus. Lazimnya, syair-syairnya berbahasa Arab. Sampai, menurut catatan Denny Sakrie, Rofiqoh Darto Wahab mencuri perhatian dengan menyanyikan “qasidah modern” dalam sebuah acara keagamaan di Pekalongan pada 1964 (Republika, 1 Oktober 2007).
Sejak itu, timbul pro dan kontra tentang “qasidah modern” ini. Walau, nyatanya, genre ini lantas populer, antara lain dengan adanya grup Nasyida Ria. Grup yang beranggota banyak ini semua perempuan, melengkapi diri dengan berbagai alat musik modern seperti organ dan gitar listrik, berdiri pada 1975 di Semarang. Syair lagu-lagu mereka kebanyakan berbahasa Indonesia, seperti Perdamaian, Jilbab, Kota Santri, Kaya Miskin Bahagia, dan Nabi Muhammad Insan Pilihan.
Sebagai sebuah bentuk “seni rakyat” atau “musik pop”, qasidah ala Nasyida Ria ini tak hendak menyampaikan risalah ide yang berat-berat. Syair-syairnya berbahasa ringan dan riang, walau sering mengandung kritik sosial lumayan tajam. Dari segi lirik, yang kemudian mengandung muatan sastra kental justru lagu-lagu religius dari Bimbo, yang oleh banyak orang sukar digolongkan sebagai lagu-lagu qasidah. Pengamat musik Denny Syakrie termasuk yang dengan tegas mengategorikan lagu-lagu religius Bimbo sebagai sebuah varian qasidah modern, dengan musik yang memasukkan unsur musik flamingo.
Syair lagu-lagu paling terkenal dari Bimbo dibuat oleh penyair Taufik Ismail. Bimbo juga dibantu oleh beberapa ulama atau tokoh Islam, yakni KH. Miftah Faridl, E.Z. Muttaqien, Endang Sjaifuddin Anshari, dan lain-lain.
Banyak artis Indonesia lain, menurut Denny Sakrie, yang mencoba ber-qasidah modern juga. Misalnya, Fenty Effendy dan Rien Djamain (bersama grup Djamain Sisters). Dan pada 2004, GIGI menggebrak dengan pendekatan rock yang menghentak untuk lagu Nasyida Ria, Perdamaian. “Qasidah modern” di masa hingga 1980-an pun kini jadi “tradisional”, atau “jadul” (atau “jaman dulu”!).*
Band GIGI menyanyikan qasidah, Dhani Ahmad terinspirasi Naqsabandiyah, Opick pun mendayu mengajak zikir. Sejak Wali Sanga, banyak peluang berdakwah lewat musik.
Di Jepang, Dhani Ahmad jadi salah satu ikon populer anak muda pengikut tarikat Naqsabandiyah. Ini kesaksian seorang peserta Asian Public Intelectuals (API) Fellowship, Krisnadi Yuliawan, yang selama 6 bulan pada 2006-2007 melakukan penelitian di Jepang. Begitu pulang ke tanah air, Krisnadi sedikit geli juga menonton liputan sekian banyak infotainment di televisi kita tentang “tragedi” Dhani-Maia. Dalam beberapa kali perjumpaan, Dhani menyebut-nyebut “habib” (entah siapa) ada di pihaknya.
Dhani “Dewa” Ahmad tak pernah sepi dari kontroversi. Termasuk saat ia mulai secara gamblang mengekspresikan lirik, judul album, dan simbol-simbol Islam yang agak khas dalam album solo mau pun album Dewa sekeluarnya Ari Lasso. Pada album ketujuh Dewa, Laskar Cinta (2005), Dhani memilih logo album kaligrafi Allah yang, menurut Dhani, telah dimodifikasi sehingga bukan lagi terbaca Allah. Bentuknya mirip bintang Daud –sehingga sebagian orang (terutama tokoh Betawi, Ridwan Saidi) mengaitkan Dhani dengan “konspirasi Yahudi”.
Pada 10 April 2005, Dhani Dewa dituduh menghina Islam karena dalam sebuah pertunjukan di Trans TV, lambang itu dibentang di lantai panggung yang, tentu saja, diinjak-injak Dhani dan kawan-kawan. Ustaz Wahfiuddin mendatangi Trans TV, bertemu muka dengan Dhani, menunjukkan sebuah gambar dalam Atlas Budaya Islam karya Ismail Faruqi yang menegaskan bahwa simbol itu adalah tulisan “Allah” yang tak boleh diinjak-injak.
Ironis. Di satu sisi, Dhani digugat karena simbol itu mirip simbol suci Yahudi sang “musuh Islam”; di saat sama, ia digugat justru karena simbol itu kaligrafi “Allah”. Namun segala kehebohan ini bagian dari sebuah dinamika Islam masa kini: ketegangan antara ekspresi Islam dalam budaya pop dan batas-batas Islam yang telah mapan dalam masyarakat kita.
Tegang, tapi untung?
Tak selamanya ketegangan itu berbentuk pertentangan terbuka dan keras. Ketegangan kreatif bisa mengambil bentuk diam-diam, tanpa keributan. Diam-diam, jika kita perhatikan, ada ketegangan kreatif antara pandangan dua mantan rocker kita, Harry Mukti dan Opick. Mereka tak berseteru secara langsung, tapi masing-masing menapaki jalan yang bertentangan.
Harry Mukti saat ini tak mau lagi menyanyi. Musik itu haram, pernah ia melontar ke media. Sejak jadi lead vocal band Makara dan meluncurkan lagu Laron-laron pada 1985-1986, Harry dikagumi karena teknik teriakannya yang mampu menggapai oktaf tinggi dan bisa sedikit serak tanpa jadi pecah suaranya. Kini ia puas jadi ustaz saja. Dalam sebuah berita dari Antara, 2 April 2007, ia mengaku bahwa sejak meninggalkan keartisannya, ia jatuh miskin. Ia hanya bersyukur punya istri dan mertua kaya, yang mendukung kegiatannya berdakwah (lisan) kini.
Lain lagi Opick. 15 tahun ia menyanyi rock dan menelurkan enam album. Ia gagal, tak dikenal dan tak punya lagu laris barang satu pun. Pada album ketujuh, ia menemukan suara sejatinya: musik religius. Album itu, Istighfar, terjual 300.000 keping dalam sebulan. Sampai album ketiga musik religiusnya pada 2006 ini, Opick, yang bernama asli Aunur Rofiq Lil Firdaus, boleh dibilang antara telah berhenti dan belum sebagai penyanyi rock. Ia jelas tak lagi menyanyi lagu-lagu rock “nonreligius”.
Namun kita ingat, karakter vokal Opick serta caranya menyanyi yang cenderung mendayu dan cocok benar untuk melantunkan syair-syair mengajak berzikir dalam alun musik rock balada lembut berbasis musik orkestrasi. Musik Opick yang sebetulnya sangat modern itu berhasil membentuk identitasnya sendiri sebagai “musik religius”. Ia mengembangkan lantunan gaya Tombo Ati warisan Sunan Kalijaga yang bersifat nembang ke dalam rangka musik modern.
Musik Opick, yang menerjemah gaya nembang ke dalam komposisi musik modern, adalah satu dari sekian jalan musik religius modern di Indonesia. Gaya nembang yang lebih kental gaya musik etniknya (sebuah variasi dari aliran “world music”), kebetulan musik etnik Jawa, digali oleh kelompok musik Kyai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Najib. Juga oleh kelompok Nyai Kanjeng pimpinan Trie Utami. Ada juga jalur nasyid –sebuah gaya senandung, musik vokal, dari Arab.
Kelompok Snada yang telah kiprah 13 tahun membawa suatu plesetan terhadap pakem nasyid asli, yakni gaya akapela (bahkan, kadang R & B juga) ala Boyz II Men dari Amerika. Kadang, ada juga humor dalam karya mereka. Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an awal, nasyid diajarkan dalam program informal tarbiyah di sekolah-sekolah dan kampus-kampus dengan semangat meniru nasyid penyemangat perjuangan yang konon disenandungkan dengan gempita oleh para pejuang HAMAS di Palestina. Kelompok Snada jadi penanda penting pembelokan semangat perjuangan itu menjadi semangat seni penghiburan (entertainment).
Ada juga kelompok Debu, yang lebih menggali musik gambus, dan paling dekat pengertiannya dengan gaya qasidah. Dari segi syair, kelompok musik beranggota lebih dari 20 orang aneka latar bangsa ini condong pada sisi sufistik Islam. Syair-syair Debu digubah Syekh Fattah, yang berasal dari Amerika dan boyong ke Sulawesi Selatan bersama pengikutnya. Syakh Fattah juga yang merancang syiar Islam spiritual lewat musik ini, membebaskannya untuk menjelajah kemungkinan musikal world music dan pop juga.
Jelajah world music dan musik pop itu pula yang menyemangati musik shalawat dari Hadad Alwi, ketika ia merekam Cinta Rasul versi orkestra yang melibatkan Victoria Philharmonic Orchestra di Australia. Musik gambus, qasidah, bahkan lantunan shalawat pun diterima masyarakat luas. Paduan dengan unsur-unsur musik modern yang beragam, agaknya jadi ciri mutakhir musik Islam.
Rock Islam
Salah satu paduan menarik adalah musik rock dan qasidah. Pada 2004, grup rock GIGI mengeluarkan album rohani Islam, Raihlah Kemenangan. Mereka merilis sebuah daur lagu yang tak disangka banyak orang: Perdamaian, yang pernah dipopulerkan grup qasidah perempuan Nasyida Ria sejak 1970-an. Sampai album rohani ketiga mereka, Pintu Sorga, GIGI tetap mempertahankan pendekatan rock yang diaransemen oleh Dewa Bujana, dengan menyenggol aliran pop, hard rock yang agak “bocor” ke metal, juga punk, dan new wave.
Walau mengejutkan untuk dunia musik Indonesia saat ini, pengamat musik Denny Sakrie mencatat bahwa Koes Plus lah yang pertama kali memadukan musik pop/rock dengan qasidah pada 1974 (Republika, 1 Oktober 2007). Dalam album berlabel qaidah modern keluaran Remaco itu, Koes Plus melontarkan lagu-lagu Nabi Terakhir, Ya Allah, dan Zaman wis Akhir. Seperti kata Denny pada MADINA, mulanya memang pertimbangan bisnis.
Apalagi ketika pada saat hampir bersamaan, Koes Plus meluncurkan juga album natal. Hal ini memang menyebabkan kontroversi. Namun, dalam catatan Denny Sakrie, langkah Koes Plus mengeluarkan produk alternatif musik religius itu diikuti banyak band pop/rock lain. Grup musik cadas yang tak disangka-sangka mengeluarkan juga album “qasidah modern” pada 1975 adalah AKA, yang didukung oleh Arthur Kaunang dan Ucok Harahap. Menurut Denny Sakrie, pendekatan musik rock yang gempita dan dinamis inilah yang diteruskan oleh GIGI.
Tak hanya GIGI, banyak musisi rock negeri ini yang menggali kemungkinan musik religius ini. Gito Rollies, /rif, Debby Nasutian dari Gank Pegangsaan, dan salah satu yang paling sukses, Ungu, mencetak hit demi hit di masyarakat kita. Pemaduan berbagai unsur musik modern dengan unsur musik religius tradisional yang sebetulnya merupakan cermin keragaman dakwah lewat musik sekaligus keragaman musikalitas negeri ini.
Mungkin karena kita punya warisan dakwah lewat seni ala Wali Sanga. Tembang Tombo Ati adalah contoh penting pendekatan seni dalam dakwah di Indonesia. Tembang ini diciptakan Sunan Bonang lima abad lalu, berdasar sebuah hadits terkenal tentang cara-cara seorang Muslim mencapai ketenangan hati, dalam lirik bahasa Jawa. Tembang ini dinyanyikan oleh Kyai Kanjeng, Snada, dan melesatkan karir Opick. Masing-masing dengan pendekatan musikal berbeda-beda, menandakan kelenturan tembang ini sekaligus suasana keragaman musik religius kita.
Memang setidaknya ada dua Sunan yang mewariskan dakwah lewat seni. Sunan Kalijaga memanfaatkan seni ukir, wayang, gamelan, dan seni suara suluk untuk berdakwah. Ia mencipta dua tembang yang juga masih kita kenal saat ini, Lir Ilir dan Gundul Gundul Pacul. Sunan Bonang juga menghasilkan banyak suluk atau tembang tamsil, paling terkenal adalah Suluk Wijil. Namun, sedikit beda dengan para peluncur album-album religius saat ini, kedua sunan itu menjadi ulama atau pendakwah lebih dulu sebelum menjadi seniman.
Teladan kedua sunan seniman itu secara langsung atau tak langsung mengilhami beberapa seniman musik kita, dari Bimbo hingga Chrisye, juga Slank yang sempat berduet dengan Hadad Alwi. Musisi muda macam grup Ungu mungkin tak dengan sadar akan pengaruh dakwah para sunan itu. Eksplorasi musik dalam album religius mereka yang laris manis itu sangat terbatas, tak seperti GIGI atau Kyai Kanjeng. Seolah, musik mereka yang sudah ajeg pakemnya tinggal dicangkokkan saja dengan syair religius atau bukan-religius, sesuai kebutuhan.
Tidakkah terbit sedikit keheranan, ketika pada Ramadhan lalu grup dengan vokalis Pasha yang diberitakan pernah jadi juara azan se-Makassar waktu kecil, dua lagu Ungu dengan syair praktis berlawanan bisa nongkrong bareng di tangga lagu populer MTV? Yang satu, bersyair tentang pencarian Tuhan; yang lain, bersyair tentang perselingkuhan. Astaghfirullah!
***
QASIDAH MENYIASATI ZAMAN
Islam punya kelenturan mengadopsi budaya lokal. Ada beberapa pepatah Arab pra-Islam yang kemudian dikenal sebagai hadis Nabi Muhammad SAW, seperti “Kebersihan adalah bagian dari iman” atau “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina”. Para ahli sepakat bahwa hadits-hadits itu lemah runutan periwayatannya (sanad-nya), tapi para ulama menganggap pepatah-pepatah itu Islami.
Qasidah adalah sebuah tradisi berpuisi dari tanah Arab zaman pra-Islam. Jika kemudian tradisi puisi ini berkembang menjadi seni musik, tak aneh. Sebelum kelahiran puisi-puisi modern di Eropa masa Pencerahan, puisi di berbagai penjuru dunia lebih banyak identik syair yang dilantunkan sebagai lagu. Qasidah termasuk yang tak lekang dimakan zaman. Dari Arab, ia berkembang ke berbagai penjuru dunia, sesuai penyebaran Islam. Di Persia, ia memiliki variasi yang khas. Begitu juga, kemudian, di Indonesia.
Di Arab, qasidah menjadi sarana memuja nostalgia. Menurut Ibnu Qutaydah, pada abad ke-9 dalam Kitab Syair dan Penyair mendefinisikan tiga babak yang membentuk qasidah klasik. Pertama, diawali dengan keluhan penyair akan segala yang telah lewat, biasa dikenal sebagai nasib. Keluhan ini biasa berjalin dengan sikap legawa, mengikhlaskan yang telah lalu, atau takhallus. Pada babak kedua, biasa disebut rahil (bagian perjalanan), saat sang penyair merenungi kekerasan alam dan jauhnya ia dari sukunya.
Babak ketiga, berisi pesan dari penyair. Biasanya, babak ini mengambil salah satu dari tiga bentuk: fakhr, atau puja-puji pada sukunya; hija, atau satire tentang suku-suku lain; atau serangkaian kata mutiara moral, atau hikam.
Di Persia, qasidah dikembangkan menjadi sarana penyampaian ide-ide filsafat atau fungsi-fungsi non-nostalgis lain. Naser Koshro, seorang penyair dan filosof Persia, menggunakan bentuk qasidah secara meluas untuk menyampaikan berbagai tujuan filosofis, teologis, dan etis. Ibn Sina pun dikabarkan menggunakan bentuk qasidah ini untuk mengutarakan pandangan-pandangan filosofisnya.
Di Indonesia, kita tahu, Islam datang lebih banyak melalui para pedagang Arab dan Persia. Tradisi qasidah yang berkembang kemudian di negeri ini pun mengalami mutasi lagi. Secara umum, qasidah tradisional di Indonesia identik dengan musik gambus. Lazimnya, syair-syairnya berbahasa Arab. Sampai, menurut catatan Denny Sakrie, Rofiqoh Darto Wahab mencuri perhatian dengan menyanyikan “qasidah modern” dalam sebuah acara keagamaan di Pekalongan pada 1964 (Republika, 1 Oktober 2007).
Sejak itu, timbul pro dan kontra tentang “qasidah modern” ini. Walau, nyatanya, genre ini lantas populer, antara lain dengan adanya grup Nasyida Ria. Grup yang beranggota banyak ini semua perempuan, melengkapi diri dengan berbagai alat musik modern seperti organ dan gitar listrik, berdiri pada 1975 di Semarang. Syair lagu-lagu mereka kebanyakan berbahasa Indonesia, seperti Perdamaian, Jilbab, Kota Santri, Kaya Miskin Bahagia, dan Nabi Muhammad Insan Pilihan.
Sebagai sebuah bentuk “seni rakyat” atau “musik pop”, qasidah ala Nasyida Ria ini tak hendak menyampaikan risalah ide yang berat-berat. Syair-syairnya berbahasa ringan dan riang, walau sering mengandung kritik sosial lumayan tajam. Dari segi lirik, yang kemudian mengandung muatan sastra kental justru lagu-lagu religius dari Bimbo, yang oleh banyak orang sukar digolongkan sebagai lagu-lagu qasidah. Pengamat musik Denny Syakrie termasuk yang dengan tegas mengategorikan lagu-lagu religius Bimbo sebagai sebuah varian qasidah modern, dengan musik yang memasukkan unsur musik flamingo.
Syair lagu-lagu paling terkenal dari Bimbo dibuat oleh penyair Taufik Ismail. Bimbo juga dibantu oleh beberapa ulama atau tokoh Islam, yakni KH. Miftah Faridl, E.Z. Muttaqien, Endang Sjaifuddin Anshari, dan lain-lain.
Banyak artis Indonesia lain, menurut Denny Sakrie, yang mencoba ber-qasidah modern juga. Misalnya, Fenty Effendy dan Rien Djamain (bersama grup Djamain Sisters). Dan pada 2004, GIGI menggebrak dengan pendekatan rock yang menghentak untuk lagu Nasyida Ria, Perdamaian. “Qasidah modern” di masa hingga 1980-an pun kini jadi “tradisional”, atau “jadul” (atau “jaman dulu”!).*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar